" Sesungguhnya ada seorang hamba berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dia pikirkan lalu Allah mengangkat derajatnya disebabkan perkataannya itu. Dan ada juga seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang membuat Allah murka dan tidak pernah dipikirkan bahayanya lalu dia dilemparkan ke dalam jahannam." (HR. Bukhari no. 6478)
" Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS. An Nur: 15). Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
" Tidaklah manusia ditelungkupkan wajahnya di dalam api neraka melainkan karena ucapan lisannya”. (HR.Tirmidzi)
" Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " (QS. Qaaf:18)
Mengingat kembali kedalaman arti dari sepenggal ayat ini membuat gemetar jemari ini ketika menuliskannya ke dalam rangkaian kata. Apalagi jika membayangkan apa yang nanti bakal terjadi, ketika lisan ini kelak terkunci, hanya kaki dan tangan bersaksi terhadap apa saja yang pernah terjadi sepanjang hidup, terhadap segala ucapan yang telah terucap. Kesaksian yang seadil-adil kesaksian. Kesaksian yang mustahil ditutup-tutupi, apalagi didustakan. Kesaksian yang sungguh paripurna.
Redaksional ayat ini (QS. Qaaf :18) sungguh luar biasa. Kata "qoul" yang berarti ucapan ditulis dalam bentuk nakirah. Ini berarti ucapan yang dimaksud bukan "UCAPAN TERTENTU" saja, melainkan "UCAPAN APAPUN". Segala ucapan. Apapun bentuknya, apapun redaksionalnya. Itu berarti termasuk segala desis, dengung, mungkin juga dengkur. Apalagi dendang. Segala "ah", "ssttt", "suit!", "pfuih!", "pret!". Apalagi : "bangsat!", "monyet!", "anjing!", dan segala nama binatang lainnya.
" Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Kami mendengar, dan malaikat-malaikat Kami selalu mencatat di sisi mereka." (QS.43: 80)
Itu berarti, kelak, segala ucapan, apapun bentuknya, yang pernah kita ucapkan akan termasuk yang dihisab oleh Allah Subhanahuwataa'la. di akhirat.
Sungguh tepat anjuran Rasulullah sebagaimana dalam sebuah hadits:
" Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam. " (H.R. al-Bukhari dan Muslim, hadits ke-15 dalam Arba’in Nawawi).
Itu berarti, berkata yang baik lebih diutamakan daripada diam. Dan diam lebih diutamakan daripada berkata yang buruk. Bahkan diam lebih diutamakan daripada berkata yang — meski tidak masuk kategori buruk, tetapi — tidak ada gunanya.
Cukuplah contoh perilaku dalam berbicara yang diberikan Rasulullah ini menjadi pegangan.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau suka mencandai kami." Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar." (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Bahkan ketika bercanda pun Rasulullah berkata yang benar. Padahal canda biasanya dekat kepada dusta. Setidaknya perkataan yang tidak ada gunanya. Itu semua menandakan betapa Rasulullah sangat memahami bahwa segala ucapan, apapun bentuk dan isi ucapan kita ini, akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karena kedua malaikat itu, tak sedikitpun luput dalam mencatat segala yang kita ucapkan.
Andai satu ayat ini bisa kita pegang erat, menjaga setiap lisan yang terucap .. mungkin terpegang pula tiket masuk dengan selamat ke taman akhirat, Aamiin Ya Robbal'alamiin ....
kutarik kesimpulan secara bebas,
Setiap kita bebas berbicara atau menuliskan apapun .. Tetapi tidak bebas dalam menentukan konsekuensinya, tuturkanlah kata-kata yg memperindah butiran manik-manik di jiwa dan hidupmu, karena energi positif itu memang menular dan mengalir .. dan semoga ada pahala kebaikan pula karenanya, Insya Allah, Aamiin,
" Kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar." (QS. An Nur: 15). Dalam Tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa orang-orang biasa menganggap perkara ini ringan. Namun, di sisi Allah perkara ini dosanya amatlah besar.
" Tidaklah manusia ditelungkupkan wajahnya di dalam api neraka melainkan karena ucapan lisannya”. (HR.Tirmidzi)
" Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. " (QS. Qaaf:18)
Mengingat kembali kedalaman arti dari sepenggal ayat ini membuat gemetar jemari ini ketika menuliskannya ke dalam rangkaian kata. Apalagi jika membayangkan apa yang nanti bakal terjadi, ketika lisan ini kelak terkunci, hanya kaki dan tangan bersaksi terhadap apa saja yang pernah terjadi sepanjang hidup, terhadap segala ucapan yang telah terucap. Kesaksian yang seadil-adil kesaksian. Kesaksian yang mustahil ditutup-tutupi, apalagi didustakan. Kesaksian yang sungguh paripurna.
Redaksional ayat ini (QS. Qaaf :18) sungguh luar biasa. Kata "qoul" yang berarti ucapan ditulis dalam bentuk nakirah. Ini berarti ucapan yang dimaksud bukan "UCAPAN TERTENTU" saja, melainkan "UCAPAN APAPUN". Segala ucapan. Apapun bentuknya, apapun redaksionalnya. Itu berarti termasuk segala desis, dengung, mungkin juga dengkur. Apalagi dendang. Segala "ah", "ssttt", "suit!", "pfuih!", "pret!". Apalagi : "bangsat!", "monyet!", "anjing!", dan segala nama binatang lainnya.
" Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Kami mendengar, dan malaikat-malaikat Kami selalu mencatat di sisi mereka." (QS.43: 80)
Itu berarti, kelak, segala ucapan, apapun bentuknya, yang pernah kita ucapkan akan termasuk yang dihisab oleh Allah Subhanahuwataa'la. di akhirat.
Sungguh tepat anjuran Rasulullah sebagaimana dalam sebuah hadits:
" Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka berkatalah yang baik atau diam. " (H.R. al-Bukhari dan Muslim, hadits ke-15 dalam Arba’in Nawawi).
Itu berarti, berkata yang baik lebih diutamakan daripada diam. Dan diam lebih diutamakan daripada berkata yang buruk. Bahkan diam lebih diutamakan daripada berkata yang — meski tidak masuk kategori buruk, tetapi — tidak ada gunanya.
Cukuplah contoh perilaku dalam berbicara yang diberikan Rasulullah ini menjadi pegangan.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau suka mencandai kami." Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku tidak berkata kecuali yang benar." (H.R. Ahmad dan at-Tirmidzi)
Bahkan ketika bercanda pun Rasulullah berkata yang benar. Padahal canda biasanya dekat kepada dusta. Setidaknya perkataan yang tidak ada gunanya. Itu semua menandakan betapa Rasulullah sangat memahami bahwa segala ucapan, apapun bentuk dan isi ucapan kita ini, akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Karena kedua malaikat itu, tak sedikitpun luput dalam mencatat segala yang kita ucapkan.
Andai satu ayat ini bisa kita pegang erat, menjaga setiap lisan yang terucap .. mungkin terpegang pula tiket masuk dengan selamat ke taman akhirat, Aamiin Ya Robbal'alamiin ....
kutarik kesimpulan secara bebas,
Setiap kita bebas berbicara atau menuliskan apapun .. Tetapi tidak bebas dalam menentukan konsekuensinya, tuturkanlah kata-kata yg memperindah butiran manik-manik di jiwa dan hidupmu, karena energi positif itu memang menular dan mengalir .. dan semoga ada pahala kebaikan pula karenanya, Insya Allah, Aamiin,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar